Sabtu, 09 Oktober 2010

Sebuah karya : Door Dusternis Tot Licth

 (tak harus menunggu tanggal 21 April)...

Men kan ons veel, ja alles ontnemen, maar niet mijne pen.
Mereka dapat merampas apa saja dariku, tapi tidak pena ku.

Sebuah buku yang memberikan pengaruh besar pada arus perubahan wanita Indonesia dari masa ke masa. Dialah Kartini yang memiliki misi untuk melepaskan kaumnya dari suatu diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Perjuangan untuk ‘Bebas’
Saat itu kaum hawa seolah terpenjara dari banyak kegiatan. Hak-hak mulai dipertanyakan. Sudahkah mereka menerima apa yang seharusnya mereka terima ? Pendidikan, pekerjaan dan bebas menentukan pilihan. Penggambaran penderitaan tak sampai episode itu saja, perempuan jawa masih berada pada kungkungan adat yang tak biasa bebas duduk di sekolah saja, melainkan harus siap dinikahi dengan laki-laki manapun tanpa atau persetujuan perempuan tersebut. Jelas tak ada yang berani melakukan pembelaan diri.
Pandangan kritis wanita kelahiran Jepara ini terus diungkapkan melalui surat-suratnya untuk teman-teman Kartini di Belanda. Bahkan dalam masalah agama yang dianut, mereka tak seharusnya menghafal isi kitab suci saja. Mereka tak diperkenankan untuk lebih mendalami, memahami dan mengamalkan apa kandungan yang adanya. “Agama harus menjaga kita dari dosa” ungkapnya.

Door Dusternis Tot Licth
habis gelap terbitlah terang 
…yukhrijuhum minazhzhulumaati ilannuur"
"mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)" 
(QS 2: 257). 

Perjuangan besar itu pun tak sia-sia. 
Namun, kini sudahkah wanita abad 20 menjaga warisan tersebut ? 
menjaga atau malah menodainya ? 
hanya engkau lah perempuan yang benar-benar bisa menjawab.
Ketika sebuah kebebasan telah bisa dimanfaatkan oleh kaum Kartini saat itu, tetapi bagaimana dengan kartini-kartini sekarang ? Terkadang penggunaan kebebasan itu tak mampu membentengi diri seorang perempuan untuk tetap menjaga fitrah dan mahkota kehormatan perempuan. Di saat tak lagi terperangkap dalam ‘kandang’, mereka mulai berekspresi dan berkarya dengan tetap menjaga tutur kata, kesopanan dalam ‘tindak-tanduk’. Tak pernah seorang Kartini mewariskan ‘kebrutalan’ perempuan yang lari kesana-kemari tak punya arah hidup dan tujuan.
Lalu sudahkah karya-karya perempuan sekarang menjadi sebuah gagasan nyata dan kontribusi bagi pembaruan dan kepentingan bangsa ? Cobalah perempuan belajar dari kedewasaan berpikir nasional nya seorang wanita yang baru berumur seperempat abad itu.
Kartini telah mengupayakan banyak hal yang sampai sekarang masih dinikmati oleh perempuan. Perjuangan itu pun belum berakhir. Siapakah kartini-kartini selanjutnya yang mampu menjaga idealisme perempuan Indonesia tanpa mudah digoyahkan oleh arus modernisasi yang semakin deras menggerogoti kepribadian perempuan Indonesia. 
Menjaga lilin yang sudah dinyalakan olehnya hingga Door Dusternis Tot Licth
Mungkinkah habis terang gelap lagi ? 
Wahai perempuan, cahaya itu ada di tangan, pikiran dan hatimu.
[Mhie]

Tidak ada komentar: