Rabu, 21 Desember 2011

Mama, Mami, Ummi, Simbok, Emak, dan Ibu Kita, adalah Sama

Sepulang sekolah, rumah Rena masih sama seperti sebelumnya. Sepi. Hanya ada pembantu dan sopir. Rena menghambur ke kamar dengan melempar tas dan sepatu sehingga tertinggal di ruang tengah. Bukan Mamanya yang ia temui. Tak akan bertemu sebelum jam delapan malam tiba nanti. Rena sudah tahu itu.
Pembantunya yang setia menemani Rena tak jera membereskan barang-barang Rena yang sengaja ditinggal dalam keadaan berantakan. Rena yang sedang enggan mengganti baju sekolahnya kini berdiri di sudut jendela memandangi langit teduh oleh mendung.
Rena melihat satu pemandangan di luar sana. Seorang ibu dengan daster coklat kumal menggendong anak bayinya. Kini tengah bergegas mengambil jemuran di halaman rumah. Anak sekitar umur 6 tahun membuntuti sang Ibu dan membantu membawa jemuran. Mereka pun kembali masuk ke rumah berdinding kusam dan retak disana-sini. Hanya kursi bamboo yang kalau diduduki berbunyi …kreteeg….terpajang di teras rumahnya.

Malang

Begitu komentar Rena dari balik jendela. Rena coba membandingkan sofa yang baru diganti oleh Mama kemarin sore. Mewah seperti singgasana raja dan ratu.

Tetapi…
Ada satu kebahagiaan yang tak ku miliki seperti yang dimiliki anak itu, batinnya.

Rena menengok lagi ke arah seorang ibu dengan dua anaknya itu. Sang ibu mengelus ubun-ubun anknya dan seraya berkata terima kasih. Terlihat wajah mereka tersenyum menyemburatkan bahagia.

Seandainya saja, Mama punya sedikit waktu yang berlebih untuk membagi sayangnya untukku. Bisik Rena yang tertelan gemuruh petir.

Hujan pun mengguyur hingga membuat kaca jendela Rena mengembun. Rena kembali ke dalam ruangan yang penuh dengan benda-benda mati. Kini Rena bermain dengan mereka.
***

Sebuah narasi yang membandingkan dua keadaan keluarga. Kompleks sekali ketika kita mau lebih banyak menilik kehidupan sosial di masyarakat. Kultur dan tradisi yang tercipta di masing-masing keluarga jelas berbeda. Akhirnya anak tumbuh dibawah kultur dan tradisi yang ada di keluarga tersebut.
Orang tua perempuan yang kerap kita panggil dengan sapaan Mama, Ibu, Emak, Simbok, Mami, Ummi, atau siapapun itu, tetap saja memiliki arti yang sama. Bukan berarti Mami, Mama memiliki taraf keibuan, derajat sosial yang lebih tinggi dari Ibu, simbok ataupun emak. Mereka semua sama-sama melahirkan seorang anak, menyusui dan merawat hingga usia anak-anak, remaja bahkan dewasa.
Mama selalu sibuk dengan urusan dagangan batiknya. Mami itu menomorsatukan klien demi kemajuan perusahaannya. Atau Ibu senantiasa setia dengan omelannya yang kalah siar dengan para penyiar radio. Emak dan simbok dengan keringat yang berpeluh diwajahnya tengah berjuang untuk mencari sesuap nasi. Ternyata begitu banyak perbedaan yang dialami oleh masing-masing orang tua perempuan kita. Mereka tetap tak mengubah garis keturunan, karena kita tetap menjadi salah satu anak dari mereka.
Keadaan orang tua yang berbeda membuat kita tumbuh dengan pribadi dan karakter berbeda pula antara yang satu dengan yang lainnya. Tak perlu mencari siapa yang salah, apalagi jika salah satu dari kita menganggap bahwa selama ini menjadi korban salah asuhan karena tipe didikan yang berbeda dari orang tua masing-masing.
Dalam keadaan apapun itu….
Mereka tetap menjadi ibu yang tak pernah surut cinta dan kasih sayangnya sehingga mengalir deras untuk kita. Tak usah banyak menuntut meminta supaya Ibu kita menjadi seorang mama, emak, mami, ummi atau pun yang lainnya. Sebelum menuntut banyak hal kepada beliau, sudahkah kita penuhi kewajiban kita sebagai anak ? sudahkah kita membuat ibu kita tersenyum hari ini ?













Tak perlu membandingkan harga sebuah kasih sayang
Dari  ibu kita, ibu teman kita, ibu tetangga kita atau siapapun itu. 

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa…
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia…

Maka sekali lagi, dalam keadaan apapun itu…
Cintailah ia…kirimkan doa dalam setiap munajat kita…
Agar ia pun tahu, betapa kita juga mencintainya….

(Love you, Mom : Jazakillah for everythings….Selamat hari ibu….)

Selasa, 20 Desember 2011

Jurnalimah : Special Menu for Juournalist Wanna be !

"Menulis itu seperti belajar berenang"


Satu kalimat yang mengusir pikiran pragmatis kita bahwa menulis adalah bakat yang tidak dimiliki oleh setiap orang. Pak Ade Asep Syaifuddin, selaku pembicara dalam acara yang diadakan oleh Yayasan Al-Ummah ini menorehkan banyak pesan yang ditujukan kepada 20 peserta Jurnalimah di TKIT Ulul Albab, Pekalongan.

"Belajar berenang itu dimulai dengan nyemplung langsung ke air kolam" tutur pembicara yang bekerja sebagai general manager di radar pekalongan itu. Peserta pun ikut manggut-manggut yang berarti membenarkan kata pak Asep. Untuk bisa menulis, mau gak mau jurus yang harus kita lakukan adalah MENULIS.

Mayoritas penulis pemula memiliki perasaan 'underestimate' karena takut tulisan dinilai sebagai tulisan yang tidak bermutu. Salah. itulah persepsi yang menghancurkan semangat kita untuk memulai menulis. Padahal sudah dikatakan oleh pembicara yang merupakan alumni IAIN Cirebon itu, bahwa untuk menjadi seorang penulis, cerpenis, ataupun jurnalis maka jangan pernah takut untuk menjadi penulis terjelek pada karya awal. Segala sesuatu berawal dari sebuah permulaan yang kecil untuk kemudian menjadi sebuah akhir yang besar.

Menu spesial di hari Senin, 19 Desember 2011 ini tak berhenti pada penyampaian motivasi menulis saja. Kak Nurhadi SA, selaku Tim redaksi Bulletin Al Ummah menyemarakkan acara dengan gaya ala fotografer. Dunia jurnalistik memang luas. Tidak ditinjau dari segi pelaporan berita saja tetapi juga meliputi fotografi dari hasil kegiatan yang diliput.

Workshop penulisan berita menjadi ending dari acara Jurnalimah hari ini. Peserta pun antusias memposting berita pada blog masing-masing, meskipun ada sedikit kendala teknis. Semoga semangt ini menjadi langkah awal untuk mewujudkan tujuan dari acara ini : Journalist Al Ummah Wanna be !!


[Azmhie n Ceria @ Workshop Jurnalimah]