Sabtu, 23 Oktober 2010

Konsistensi itu bukan ‘mekso’





—mempertanyakan sebuah niat ?!

(sebagai bahan evaluasi diri kita masing-masing dalam menjalankan amanah.)

Detik-detik menjelang akhir kepengurusan
“oke, seharusnya buletin bisa terbit enam kali dalam satu periode kepengurusan, tetapi karena beberapa hal, buletin hanya bisa terbit lima kali.” Tutur salah satu anggota departemen jurnalistik dalam suatu lembaga. Yah, mungkin hal yang sangat wajar terjadi dan bisa dikatakan sebagai masalah klasik—lama ngumpulin tulisan, lama proses editing, dan yang paling parah kalo gak ada tulisan yang masuk dan paling gak enak lagi kalau pengurusnya gak tanggung jawab (hehe..ck..ck..)—.

Di sisi lain aku teringat nasehat  salah satu teman di sebuah lembaga (beberapa tahun yang lalu)
“program-program kerja dan rancangan yang telah disusun, kalau bisa (agak sedikit memaksa) program itu bisa dijalankan” tegasnya. Semua orang yang tengah menyibukkan diri dalam rapat pun seolah melakukan anggukan universal bertanda “manut-lah”.

Hayo, kalau ada kondisi yang terjadi pada waktu yang berbeda seperti diatas, apa yang temen-temen tangkap ? (dua menit pikirkan sejenak, kalau sudah selesai boleh lanjut ke alenia berikut ini)

Yup, itulah kondisi yang terjadi pada waktu berbeda tetapi memiliki keterkaitan.
Ada sebuah harapan dan realita yang tersirat dari dua hal tersebut.
Ending-nya, kita bisa menerima realita atau suatu kondisi—untuk mengevaluasi sejauh mana dan seberapa sukses kah kita melaksanakan sebuah planning di awal kegiatan ? Output dari kegiatan yang kita planning-kan dapat dinikmati hasilnya sesuai kerja dan usaha yang kita lakukan. Allah Maha Adil, bukan ?
Allah tahu siapa saja yang bekerja lebih keras,
dan siapa yang hanya duduk diam tanpa ada lelah yang disumbangkan.
Lagi-lagi, Allah Mengetahui siapa saja yang tak pernah melupakan amanah yang seharusnya dijalankan dalam sebuah lembaga, bukan hanya sekedar mengejar sebuah target (percuma berlari jika yang didapat hanya keringat dan lelah = mekso, maaf..) tetapi bagaimana menjaga kontinuitas dalam berkarya. Konsisten. Seperti belajar meniru matahari yang setia memancarkan sinarnya setiap pagi. Kala malam, ia tak nampak, tetapi cahayanya masih dipantulkan oleh rembulan. Bermanfaat setiap saat. Meski terkadang realita dan harapan tak akan selamanya sejalan. Niat kita lah yang akan dipertanyakan !! Ikite ne [mhie]

Sabtu, 09 Oktober 2010

Kunang-Kunang

Semua indah pada waktunya…
Kini mungkin bukan saatnya…
Tetapi suatu saat nanti waktu yang akan menjawab…

Mungkinkah...
Bahwa...(titik-titik-titik)

”aku hanya sinar yang melintas

Sekedip bagai kunang-kunang kecil”

Kunang-kunang pun tahu...
Kapan harus hinggap dan terbang...
Meski sayapnya kecil, dan tubuhnya mungil..
Dia berikan sedetik keindahan bagi mata manusia yang melihat saat malam tiba.

”Cukup bagiku meski hanya semalam...

Yang penting senyum mereka terpancar...

Tak perlu sayap yang elok

Mengudara membawa hati mereka terbang...

Percuma, jika...

Kemudian mereka dijatuhkan begitu saja...

Tanpa arti dan rasa...

Kunang-kunang...seketika datang lalu menghilang...
Meski tak terlihat jelas tetapi denyutnya terasa untuk semua...


Sudahkan kita demikian ? perlukah kita meniru kunang-kunang ?

Sebuah karya : Door Dusternis Tot Licth

 (tak harus menunggu tanggal 21 April)...

Men kan ons veel, ja alles ontnemen, maar niet mijne pen.
Mereka dapat merampas apa saja dariku, tapi tidak pena ku.

Sebuah buku yang memberikan pengaruh besar pada arus perubahan wanita Indonesia dari masa ke masa. Dialah Kartini yang memiliki misi untuk melepaskan kaumnya dari suatu diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Perjuangan untuk ‘Bebas’
Saat itu kaum hawa seolah terpenjara dari banyak kegiatan. Hak-hak mulai dipertanyakan. Sudahkah mereka menerima apa yang seharusnya mereka terima ? Pendidikan, pekerjaan dan bebas menentukan pilihan. Penggambaran penderitaan tak sampai episode itu saja, perempuan jawa masih berada pada kungkungan adat yang tak biasa bebas duduk di sekolah saja, melainkan harus siap dinikahi dengan laki-laki manapun tanpa atau persetujuan perempuan tersebut. Jelas tak ada yang berani melakukan pembelaan diri.
Pandangan kritis wanita kelahiran Jepara ini terus diungkapkan melalui surat-suratnya untuk teman-teman Kartini di Belanda. Bahkan dalam masalah agama yang dianut, mereka tak seharusnya menghafal isi kitab suci saja. Mereka tak diperkenankan untuk lebih mendalami, memahami dan mengamalkan apa kandungan yang adanya. “Agama harus menjaga kita dari dosa” ungkapnya.

Door Dusternis Tot Licth
habis gelap terbitlah terang 
…yukhrijuhum minazhzhulumaati ilannuur"
"mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)" 
(QS 2: 257). 

Perjuangan besar itu pun tak sia-sia. 
Namun, kini sudahkah wanita abad 20 menjaga warisan tersebut ? 
menjaga atau malah menodainya ? 
hanya engkau lah perempuan yang benar-benar bisa menjawab.
Ketika sebuah kebebasan telah bisa dimanfaatkan oleh kaum Kartini saat itu, tetapi bagaimana dengan kartini-kartini sekarang ? Terkadang penggunaan kebebasan itu tak mampu membentengi diri seorang perempuan untuk tetap menjaga fitrah dan mahkota kehormatan perempuan. Di saat tak lagi terperangkap dalam ‘kandang’, mereka mulai berekspresi dan berkarya dengan tetap menjaga tutur kata, kesopanan dalam ‘tindak-tanduk’. Tak pernah seorang Kartini mewariskan ‘kebrutalan’ perempuan yang lari kesana-kemari tak punya arah hidup dan tujuan.
Lalu sudahkah karya-karya perempuan sekarang menjadi sebuah gagasan nyata dan kontribusi bagi pembaruan dan kepentingan bangsa ? Cobalah perempuan belajar dari kedewasaan berpikir nasional nya seorang wanita yang baru berumur seperempat abad itu.
Kartini telah mengupayakan banyak hal yang sampai sekarang masih dinikmati oleh perempuan. Perjuangan itu pun belum berakhir. Siapakah kartini-kartini selanjutnya yang mampu menjaga idealisme perempuan Indonesia tanpa mudah digoyahkan oleh arus modernisasi yang semakin deras menggerogoti kepribadian perempuan Indonesia. 
Menjaga lilin yang sudah dinyalakan olehnya hingga Door Dusternis Tot Licth
Mungkinkah habis terang gelap lagi ? 
Wahai perempuan, cahaya itu ada di tangan, pikiran dan hatimu.
[Mhie]

Sabtu, 02 Oktober 2010

Kepakan Sayap Pipit Kecil


pipit kecil yang sedang belajar berjalan…
bergerak kesana-kemari dalam sarangnya yang penuh kehangatan.
Kau tak mudah terlelap..
Karena kau sedang ’ditetah’ oleh indukmu
Karena induk yang menyayangimu mulai berharap
melihatmu melangkahkan kaki kecilmu
lalu mendekap dalam pelukannya.

Seiring bergantinya musim..
Pipit kecil pun tumbuh, kini tak lagi kecil
Karena berani meninggalkan sarangnya yang usang tuk terbang mencari udara segar. Angkasa luas kau temukan..Lazuardinya langit kan kau tatap. Bintang gemintang malam akan berhias.

Yah...Pipit kecil sudah berkembang
Mengepakkan sayapnya yang elok rupawan.
Kau sudah belajar sekian lama..
Tetapi kenapa aku harus mengkhawatirkanmu pipit kecil…
Kelak disaat kau terbang banyak hal yang kan kau temukan
Bukan hanya keindahan..
Tetapi suatu saat kau melihat dimana keindahan itu tersimpan kebaikan,
ada pula keburukan yang terpoles dengan keindahan yang bisa mengelabuhimu.
Lalu mana yang akan kau pilih, pipit kecil..?

Aku tahu, meski tak bisa selamanya melihatmu
Karena jarak yang menghalangi untuk saling bertemu
Aku yakin, ada yang selalu mengawasimu dalam doa
Ada yang selalu memperhatikanmu penuh cinta
Dan kenapa pula aku harus mengkhawatirkanmu,

Karena Allah akan selalu menjagamu, tak luput sedetik pun.
Maka, sesekali saat kau terbang,
hiruplah aroma udara dengan penuh syukur
dan iringi perjalananmu dengan senantiasa menyebut AsmaNya.
Selamat mengepakkan sayapmu, pipit kecil...

(special for my little sister...get your dreams come true!!Allah always beside U, sista…!!)

Sudahkah Kita Tafahum ?

Katakanlah: " Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)." (QS. Al An’aam : 65)

Satu ayat pengantar bagi kita untuk mengetahui bahwa dalam alquran telah disebutkan agar kita saling memahami ditengah banyaknya percampuran golongan atau sebuah perbedaan. Tafahum atau saling memahami merupakan tingkatan ukhwah yang kedua setelah ta’aruf. Mungkin ketika antum membaca ini ”ah saya sudah tahu”—semoga saja tidak. Namun apakah kita benar-benar telah melampui garis ini artinya telah lolos uji saling memahami saudara kita antara yang satu dengan yang lain ? Bukan sekedar ikrar ”ane paham antum itu orangnya seperti ini...” tetapi melibatkan unsur rasa karena inilah tafahum yang sebenarnya. Sekali lagi, bukan sebuah pernyataan semata melainkan sebuah statement yang memiliki esensi lebih dalam.

Begitu banyak perbedaan
Kita hidup memang berada pada satu tempat untuk berpijak bersama-sama. Salah satu planet dalam tatanan tata surya, bumi. Satu memang. Tetapi di dalamnya ada banyak molekul, komponen dan senyawa penyusun bumi. Dan kita termasuk penghuni bumi yang tak hanya kita saja tetapi Allah menciptakan sejuta lebih manusia untuk menemani kita. Walaupun sama-sama manusia, kita punya banyak perbedaaan. Karakter. Itu yang paling utama. Kita hidup memiliki keinginan masing-masing dengan perbedaan karakter masing-masing juga. So ? terkadang keinginan itu akan selalu menuntut kita. Tetapi kita tahu keinginan tak selalu kita dapatkan. Jika mereka langsung mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan mudah, lalu bagaimana mereka akan memahami sebuah proses. Mengerti akan sebuah pengorbanan mendapatkan apa yang kita kehendaki.
Allah memberikan karunia lewat penciptaan manusia dengan frame berpikir berbeda pula. Lalu bagaimana kita menyikapi hal itu ? bagimana kita membahasakan suatu masalah kepada satu orang dengan orang yang lain. Itu berbeda. Ketika berdiskusi, menyampaikan pendapat, menyampaikan keinginan. Bisa saja menciptakan sebuah pertengkaran sengit bahkan mungkin versus teman dekat kita sendiri karena kita belum bertafahum. Ya..itu kejadian yang saya sering perhatikan akhir-akhir ini.
Tak semua orang paham dengan bahasa kita –yang mungkin terlalu memiliki arti khusus atau terlalu ’belibet’. Kita ingin menyampaikan A ternyata yang tersampaikan itu Z. Hanya orang-orang tertentu yang akan saling ’mengiyakan’ ketika mendengarkan kita berbicara dengan bahasa yang tertentu pula.

Lalu bagaimana ?
Kawan, inilah sebuah arti saling memahami ? Susah ? saya rasa tidak terlalu susah. Bagaimana kita ingin dipahami jika kita enggan memahami orang lain. Mungkin bisa menjadi sebuah tantangan. Apalagi ketika kita kuliah, berorganisasi, akan berhadapan dengan banyak orang yang tak sejalan dengan kita. Mungkin ada sebuah rute jalan yang berbeda dari impuls saraf otak kita. So..dimulai dari bermain cantik. Open. Itu kuncinya. Walaupun suatu ketika akan ada yang terkorban, karena inilah hakikat dari sebuah perjalanan untuk mendapatkan apa yang kita cita-citakan. Lalu sering-seringlah berkomunikasi untuk bisa saling mengenal karakter dan pola pikir saudara kita. Dan pada akhirnnya kita saling menerima, apa adanya. Jika belum, cobalah untuk selalu berkhusnudzan dengan saudara kita. Dari sinilah akan terlahir arti saling memahami. Hum, simple saja. [mhie]